Tesis ini bertujuan menganalisis peran Kepolisian Lampung dalam penanganan konflik di Desa Balinuraga, Lampung Selatan. Analisis peran disertai dengan analisis faktor-faktor yang melatarbelakangi konflik kekerasan di Desa Balinuraga tersebut. Konflik Balinuraga (2012) telah menimbulkan banyak kerugian dan jatuhnya korban luka hingga korban jiwa. Konflik ini tergolong besar dan dapat memantik konflik lain. Oleh karenanya, diperlukan analisis mendalam mengapa konflik ini dapat terjadi, dan utamanya bagaimana peran Kepolisian Lampung dalam menangani konflik ini. Adapun peran Kepolisian Lampung dalam penanganan konflik dideskripsikan secara kronologis yakni sebelum, saat, dan sesudah konflik Balinuraga terjadi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif analisis dengan wawancara dan studi pustaka. Sedangkan landasan teori yang digunakan adalah teori peran, teori konflik, dan teori manajemen konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Kepolisian Lampung belum optimal dalam penanganan konflik Balinuraga. Lebih lanjut, penegakan hukum tidak berjalan dengan semestinya sehingga konflik pecah pada Oktober 2012. Hasil penelitian juga menunjukkan sejumlah kendala yang menghambat optimalisasi peran Kepolisian Lampung dalam penanganan konflik sosial seperti permasalahan anggaran, jumlah anggota, dan koordinasi dengan instansi pemerintah daerah. Meski demikian, pasca konflik Balinuraga pecah, Kepolisian Lampung dapat menurunkan tingkat eskalasi sehingga perjanjian damai dapat terlaksana. Sejalan dengan hal itu, Kepolisian Lampung berupaya meningkatkan perannya dalam penanganan konflik sosial melalui berbagai program seperti Rembug Pekon, silaturahmi ke tokoh masyarakat, dan pelibatan polisi dalam Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial Lampung Selatan. Hal tersebut dilakukan agar konflik serupa tidak terjadi kembali, dan Kepolisian Lampung mampu menjalankan perannya dalam menjaga situasi damai di Lampung.