Sengketa South China Sea (SCS) yang telah berlangsung sejak tahun 1947 melibatkan Brunei, Filipina, Malaysia, PRC, dan Vietnam yang mengklaim perairan SCS. Pada tahun 2009, PRC membuat peta baru NDL yang memasukkan sebagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara (LNU) dan mendaftarkan ke PBB namun ditolak oleh PBB, karena klaim tersebut tidak berdasarkan hukum internasional khususnya UNCLOS 1982, serta Indonesia menolak secara tegas klaim tersebut. Dalam melaksanakan hak berdaulatnya di ZEE di LNU, yaitu hak untuk eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk produksi energi dari air, arus dan angin, Indonesia membuka diri bagi semua pihak untuk bekerjasama dalam pengelolaan sumber kekayaan alam di ZEE di LNU. Akan tetapi apabila terdapat pihak yang melakukan kegiatan tanpa izin di ZEE di LNU, Indonesia siap melakukan tindakan pencegahan maupun tindakan hukum, karena bila dibiarkan akan menjadi ancaman bagi pertahanan negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan strategi yang efektif bagi Indonesia dalam menegakkan hak berdaulat di ZEE di LNU. Dengan menggunakan metode kombinasi, desain penelitian sequential exploratory, teknik analisis data kualitatif Analytical Hierarchy Process (AHP) dan NVivo serta teknik analisis data kuantitatif Structural Equation
Model (SEM), dapat disimpulkan bahwa strategi yang dibutuhkan, yang secara
statistik signifikan dengan skor bobot alternatif tertinggi, adalah strategi Smart
Power yaitu kombinasi antara diplomasi dan kemampuan pertahanan yang dilaksanakan secara serentak dan saling mendukung.