Pada era globalisasi dan berkembangnya demokratisasi di dunia tidak terkecuali
di Indonesia telah membawa perubahan paradigma ancaman terhadap keamanan nasional. Pasca reformasi 1998 Indonesia mengalami masa transisi demokratisasi
dimana eksesnya yang muncul adalah kebebasan dan masuknya berbagai ancaman berupa radikalisme, terorisme, separatisme, yang menyusup berkelindan diantara masalah struktural dan sosial di indonesia berupa kemiskinan dan ketimpangan pasca krisis moneter. Dalam menangani tingginya ancaman terhadap eksistensi negara yang salah satunya terutama diakibatkan adanya konflik internal negara berupa konflik sosial, Indonesia telah menetapkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial yang mengatur pencegahan, penghentian dan pemulihan pasca konflik. Dalam penanganan konflik pada tahun 2012 sampai dengan 2015 yang bertindak sebagai leading sektor adalah Kemenko Polhukam yang kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 diubah menjadi Kementerian Dalam Negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana kebijakan pencegahan konflik khususnya pada upaya pembangunan sistem peringatan dini. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan proses analisis permasalahan menggunakan teori Evaluasi Kebijakan Publik, Tinjauan Konsep Keamanan Nasional dan Conflict Early Warning and Early Respond (CeWeRs). Parameter evaluasi kebijakan yang digunakan terdiri dari efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, ketepatan dari William N. Dunn. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa dalam pembangunan sistem peringatan dini oleh Tim Terpadu Nasional belum berjalan dengan baik sebagaimana terungkap dari parameter evaluasi tersebut. Faktor pendukung diantaranya anggaran, program, kelembagaan, political will. Sedangkan yang menjadi faktor tantangan diantaranya belum adanya kesamaan pemahaman, belum optimalnya koordinasi, sinkronisasi program, masalah lingkup kewenangan, serta ego sektoral.